Salah satu tantangan dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam penanganan Covid-19 adalah percepatan vaksinasi terhadap 3,4 juta warga DKI yang belum divaksin. Di tengah laju vaksinasi Covid-19 yang masif, ternyata 38,63% warga Jakarta justru belum divaksin dosis 1. Ada sejumlah alasan mereka belum divaksin.
Jika merujuk pada situs corona.jakarta.go.id, target vaksinasi warga DKI Jakarta adalah 8.941.211. Dari jumlah tersebut, 5.487.273 orang atau 61,37% yang sudah menerima vaksin dosis 1 dan 3.453.938 orang atau 38,63 persen belum divaksin sama sekali.
Cakupan vaksinasi khusus warga Jakarta memang terkesan melambat belakangan ini. Dari 44 kecamatan di Jakarta, baru dua kecamatan yang cakupan vaksinasi sudah mencapai angka lebih dari 80%. Terbanyak adalah kecamatan yang cakupan vaksinasi di antara 60 sampai 80%, yakni sebanyak 35 kecamatan dan 7 kecamatan yang cakupan vaksinasi di bawah angka 60%.
Lalu apa penyebab 3,5 juta warga DKI Jakarta belum divaksin?
Salah satu penyebabnya menurut Gubernur Anies adalah angka 3,5 juta tersebut didominasi oleh warga yang mobilitasnya rendah atau selama ini diam di rumah. Sementara warga Jakarta yang mobilitasnya tinggi atau yang banyak beraktivitas umumnya sudah melakukan vaksinasi Covid-19.
“Yang mobilitasnya tinggi, yang kerja rata-rata sudah divaksin semua. Tetapi mereka yang diam di rumah, tidak ada aktivitas, itu yang banyak belum divaksin. Jadi, kita akan menjangkau mereka,” kata Anies.
Penyebab lain adalah warga Jakarta termakan hoax tentang vaksin Covid-19 mulai dari hoax terkait Covid-19 hanya konspirasi, efek samping vaksin yang berbahaya, hingga soal haram dan halal vaksin Covid-19.
Berdasarkan keterangan dari Lurah Ciracas, Jakarta Timur Rikia Marwan Salahudin, kurang lebih 10% warga yang menjadi terget vaksinasi di kelurahan Ciracas termakan hoax tentang vaksin ini.
“Ada warga yang tidak mau divaksin karena termakan oleh berita-berita dan isu hoax tentang vaksin Covid-19, hoaxnya macam-macam, sebut Covid-19 hanya konspirasi, ada efek samping berbahaya dan lain sebagainya. Ini jumlahnya kurang lebih 10 persen dari sasaran target kita. Namun, kita sudah memberikan edukasi, sosialisasi dengan melibatkan puskesmas sehingga sebagian sudah mau divaksin,” ujar Rikia.
Temuan
Penyebab warga DKI Jakarta belum divaksin memang mengkonfirmasi temuan dari hasil survei LaporCovid-19, Lab Intervensi Sosial dan Krisis–Fakultas Psikologi UI, dan Social Resilience Lab, NTU pada April-Mei lalu. Survei tersebut menemukan kurang lebih sepertiga warga DKI Jakarta khawatir akan vaksin Covid-19, yang mencakup keharaman vaksin, kemanjuran vaksin, dan efek samping vaksin.
Survei dilakukan selama dua minggu dari 30 April-15 Mei 2021 dan diikuti oleh 57.231 responden yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Namun hanya 47.457 responden yang menyelesaikan survei dan tervalidasi. Sebagian besar responden adalah lulusan SMA (53,8 persen) dan sarjana (13,6 persen), ibu rumah tangga (42,8 persen), pekerja swasta (15,48 persen) dan pekerjaan lain sebesar 10,9 persen.
Peneliti LaporCovid-19, Dicky Pelupessy mengungkapkan, temuan utama dari survei ini adalah kurang lebih sepertiga atau satu dari tiga warga DKI Jakarta takut akan vaksin Covid-19.
“Salah satu temuan utama survei ini adalah meski sebagian besar warga DKI yang mengikuti survei merasa yakin dan bersedia untuk divaksin, namun sepertiga responden atau 10.789 orang khawatir bahwa vaksin Covid-19 tidak halal. Menariknya, isu kehalalan vaksin ini bukan menjadi milik pemeluk agama Islam saja, namun juga tercermin dari mereka yang non-muslim,” ujar Dicky dalam konferensi pers secara virtual terkait Pemaparan Hasil Survei Tentang Persepsi dan Kesediaan Warga DKI Jakarta Melakukan Vaksinasi Covid-19, Minggu (13/6/2021).
Selain itu, kata Dicky, masih ada 34 persen responden atau 16.102 orang yang khawatir terhadap kemanjuran vaksin Covid-19. Hal ini berarti mereka menganggap vaksin Covid-19 belum mampu melindungi dari infeksi Covid-19. Sementara, 32 persen responden atau 14.889 warga takut akan efek samping vaksin atau kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI).
“Menariknya, mereka yang berusia 50-60 tahun (pra-lansia), dengan pekerjaan TNI/Polri dan tenaga kesehatan merupakan kelompok yang tertinggi memiliki kekhawatiran terkena efek samping vaksin Covid-19,” tutur Dicky.
Temuan lain, lanjut Dicky, survei ini menunjukkan bahwa mayoritas warga DKI (70%) relatif tidak memiliki hambatan yang berarti dalam mendapatkan informasi seputar pendaftaran dan lokasi vaksinasi serta transportasi. Namun, sebagian kecil responden (13,4 persen atau 6.366 orang) mengaku masih memiliki kesulitan dalam mengakses informasi tentang vaksinasi.
“Meski jumlah responden lansia hanya 18,7 persen, sepertiganya atau 32,56 persen kelompok umur lansia menunjukkan ketergantungan pada orang lain untuk mendaftar dan berangkat ke tempat vaksinasi,” pungkas dia.
Diketahui, survei LaporCovid-19 ini dilakukan secara online dengan penarikan sampel menggunakan metode convenience sampling. Penyebaran survei dibantu oleh Biro Tata Pemerintahan DKI Jakarta dan jaringan komunitas warga. Untuk mempelajari hambatan dan faktor yang mendorong warga DKI untuk divaksinasi, LaporCovid-19 menggunakan pendekatan health belief model yang mengukur kecenderungan umum kekhawatiran, kerentanan, hambatan, dan manfaat vaksinasi. (*/cr2)
Sumber: beritasatu.com