oleh

ASEAN: ANTARA HANTU AMERIKA DAN TIONGKOK

Oleh: Moh. Ikhsan Kurnia, S.Sos., MBA.


Di atas panggung dunia, Asia Tenggara bukan lagi sekadar penonton yang duduk manis di barisan kedua. Ia telah menjadi panggung itu sendiri—panggung di mana bayang-bayang kekuatan besar menari, menyusup pelan, menyesap ruang-ruang kedaulatan yang tak selalu kokoh.

Perang tidak selalu lahir dari ledakan. Ia bisa lahir dari ketakutan yang dipelihara, dari narasi yang ditiupkan terus-menerus, dari peta-peta tua yang dibangkitkan kembali. Pada Juli 2025, api kecil kembali menyala di perbatasan Thailand dan Kamboja. Bukan hanya tentang tanah sengketa atau sejarah yang direbut, tetapi juga tentang dua arwah besar yang gentayangan di kawasan: Amerika Serikat dan Tiongkok. Dua kekuatan adidaya yang seperti dewa dalam mitologi, saling beradu kuasa dengan rakyat-rakyat kecil sebagai tembok pengganti.

Thailand dan Kamboja hanyalah simbol, bukan substansi utama. Mereka bukan permusuhan murni, tapi getar dalam tali kusut yang direntangkan dari Washington ke Beijing. ASEAN menjadi simpul yang ditarik dari dua arah, retak di tengah, namun tetap menari dalam keterpaksaan.

Setiap negara ASEAN hidup dengan sejarahnya sendiri. Tapi sejarah itu kini sedang disusun ulang oleh dinamika global yang tak kasatmata—seperti bayangan yang memanjang seiring senja. Hubungan antarnegara di kawasan bukan lagi hanya soal pertukaran dagang atau kerjasama budaya. Ia telah menjadi pilihan strategis yang sarat dilema: merapat ke Barat atau bersandar ke Timur?

Baca Juga  Ketua Dewan Pers Beri Kesempatan SMSI Mendaftarkan Seluruh Anggotanya untuk Didata, Demi Perlindungan Perusahaan Pers

Singapura tegak dengan kepala dingin, pragmatis dan cerdas. Ia menjadi simpul penting Amerika dalam pertahanan kawasan, tapi juga bersalaman hangat dengan Tiongkok dalam bisnis dan logistik. Seperti penari di atas tali tipis, Singapura tahu kapan harus tunduk, kapan harus membungkam.

Indonesia—tanah dengan sejarah panjang tentang kemerdekaan dan kenetralan—berusaha tetap bebas aktif. Namun desakan geopolitik di Laut Natuna Utara memaksanya lebih banyak melirik Washington. Kita berdiri di antara dua angin, tapi kapal ini mulai oleng ke barat, meski belum sepenuhnya berlayar.

Vietnam adalah paradoks yang menarik. Komunis yang bersahabat dengan kapitalis. Luka masa lalu terhadap Tiongkok membuat Hanoi lebih nyaman berlabuh pada Washington. Ia memilih melawan kekerabatan ideologis demi menjaga laut dan langitnya tetap biru.

Malaysia berganti wajah sesuai siapa yang duduk di kursi tertinggi. Kadang hangat ke Tiongkok, kadang mendekat ke Amerika. Tapi tak pernah benar-benar menyerahkan diri.

Filipina, sang anak pemberontak yang selalu rindu rumah. Pernah nyaris berpeluk dengan Beijing, kini kembali ke pangkuan Amerika setelah insiden demi insiden di Laut Filipina Barat membuka luka harga diri bangsa.

Thailand—sekutu militer tertua Amerika di kawasan—tetap memainkan peran ganda. Tapi ketika konflik dengan Kamboja membara, tak dapat dimungkiri bahwa Amerika tetap menjadi payung tempat mereka berlindung.

Baca Juga  Mahasiswi Sciences Po-UC Berkeley Berbagi Pengalaman Secara Daring

Kamboja menari di bawah lampu merah Beijing. Pembangunan pesat dan infrastruktur megah dibayar mahal oleh kedaulatan yang tergerus. Phnom Penh kini lebih sering berbicara dengan bahasa yang diterjemahkan dari Mandarin.

Laos pun demikian. Sunyi dalam berita, tapi tak sunyi dalam utang. Ia sudah terlalu dalam tenggelam dalam pelukan sabuk dan jalan sutra modern.

Myanmar, pasca kudeta, menutup telinga dari Barat dan membuka pelukan pada Tiongkok dan Rusia. Tapi tak semua di dalam negeri menyetujui arah yang ditempuh para jenderalnya.

Brunei, kecil dan sepi, menjadi penonton yang tenang. Ia lebih memilih doa daripada diplomasi, lebih memilih keseimbangan daripada keberpihakan.

*ASEAN di Titik Senja*

ASEAN berdiri di simpang jalan. Jalan satu mengarah pada kedaulatan regional yang utuh dan bermartabat. Jalan lain menuju ketergantungan yang tak terasa, tapi menjebak. Konflik Thailand–Kamboja hanyalah permukaan dari kegelisahan yang lebih dalam: mampukah ASEAN menjadi kawasan yang berdaulat penuh? Ataukah kita semua sedang menulis babak baru dari kolonialisme, dengan gaya dan wajah yang lebih modern?

Ketika dua kekuatan besar menawarkan tangan—yang satu dengan senjata, yang lain dengan investasi—apa yang bisa dilakukan oleh negara kecil? Banyak yang memilih diam, banyak pula yang memilih ikut, hanya sedikit yang berani menolak. Tapi sejarah tak menunggu yang diam. Sejarah ditulis oleh yang berani berkata: cukup.

Baca Juga  RM. Margono Djojohadikusumo Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Bupati Banyumas: "Kami Sangat Mendukung!"

Mungkin, dalam kekacauan ini, ASEAN harus kembali menengok ke dalam: melihat bahwa musuh sejati bukan hanya Tiongkok atau Amerika. Musuh terbesar adalah ketika kita kehilangan kepercayaan pada kekuatan sendiri. Ketika kita lebih percaya pada janji negara besar daripada potensi sesama tetangga.

Kita perlu menumbuhkan keberanian baru—keberanian untuk berkata tidak, keberanian untuk menengahi, keberanian untuk menolak menjadi pion. Karena selama kita hanya melihat ke dua kutub besar itu sebagai penentu segalanya, selama itu pula kita akan menjadi korban dari bayangan yang kita cipta sendiri.

Amerika dan Tiongkok mungkin benar ada di balik layar. Tapi barangkali, yang lebih menghantui adalah ketakutan kita untuk berpikir merdeka. Ketergantungan kita pada kekuatan luar. Dan keengganan kita untuk percaya pada solidaritas ASEAN yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada tekad.

Jika ASEAN ingin bertahan sebagai rumah bersama, ia harus menjadi tuan rumah. Bukan hanya bagi tamu asing yang membawa dolar atau kapal perang, tapi bagi cita-cita perdamaian yang lahir dari bumi sendiri. Karena pada akhirnya, hantu tak pernah benar-benar hilang. Tapi kita bisa memilih untuk tidak lagi takut.

*Penulis adalah Akademisi dan Aktivis Sosial; Alumni FISIPOL UGM.

News Feed