oleh

Muktamar PPP 2025: Saatnya Merebut Kembali Marwah Politik Umat

Oleh: Dr. Hendra Dinatha, S.H., M.H.*)

 

Pendahuluan: Muktamar sebagai Titik Balik

Muktamar Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 2025 bukanlah sekadar agenda rutin lima tahunan, melainkan sebuah titik balik historis yang akan menentukan apakah partai ini mampu merebut kembali marwah politiknya atau semakin merosot ke tepian sejarah. Dalam ilmu politik, momen seperti ini dapat disebut sebagai critical juncture, yakni persimpangan yang menuntut pilihan fundamental yang berpengaruh terhadap arah perkembangan institusi politik di masa depan (Mahoney, 2000). PPP yang sejak 1973 menjadi rumah besar politik umat Islam, kini berhadapan

dengan dilema eksistensial: melanjutkan keterpurukan sebagai partai kecil dengan citra buram, atau melakukan revitalisasi total untuk kembali menjadi kekuatan signifikan dalam percaturan politik nasional.

PPP lahir pada 5 Januari 1973 sebagai hasil fusi dari empat partai Islam: Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Fusi ini merupakan strategi rezim Orde Baru untuk menyederhanakan sistem kepartaian, namun bagi umat Islam, PPP tetap menjadi simbol persatuan politik yang memiliki legitimasi kultural dan religius. Dengan basis sosial yang kuat di pesantren, organisasi keagamaan, dan komunitas Islam tradisional, PPP pernah memainkan peran strategis dalam menjaga aspirasi politik umat di tengah dominasi negara. Tetapi pasca Reformasi, simbol itu kian memudar seiring fragmentasi politik Islam dan melemahnya kepemimpinan partai.

Fenomena penurunan perolehan suara PPP dari pemilu ke pemilu pasca 1999 mencerminkan kegagalan institusional dan kepemimpinan. Analisis neo-institusionalisme menjelaskan bahwa ketika partai gagal memperbarui struktur internal dan adaptasi programatik, ia terjebak dalam path dependency yang mengekalkan pola lama meskipun konteks sosial politik sudah berubah (Thelen, 1999). PPP tampak tidak mampu menawarkan narasi baru yang relevan bagi generasi muda Muslim, sehingga kehilangan daya tarik kompetitif terhadap partai-partai Islam lain seperti PKB, PAN, dan PKS.

Dalam perspektif ekologi politik, kondisi ini dapat dipahami sebagai kegagalan PPP membaca dinamika lingkungan politik dan sosial yang kian plural. Sementara PKB berhasil memanfaatkan kultur Islam Nusantara dan PKS mengusung isu keadilan sosial, PPP justru terjebak dalam pragmatisme politik elitis tanpa visi ideologis yang menonjol (Aspinall & Mietzner, 2014). Akibatnya, PPP tidak lagi dipersepsi sebagai partai dengan identitas yang kuat, melainkan sekadar pelengkap dalam konfigurasi koalisi nasional.

Krisis kepemimpinan di tubuh PPP memperparah situasi ini. Sejumlah elite partai terseret kasus korupsi, bahkan pernah ketua umumnya dipenjara, menimbulkan erosi kepercayaan publik. Padahal, menurut teori kepemimpinan transformasional, figur pemimpin yang karismatik, berintegritas, dan visioner adalah prasyarat kebangkitan organisasi politik (Burns, 1978). Ketiadaan figur semacam itu membuat PPP gagal menjadi aktor penggerak, dan lebih sering tampil sebagai pengikut dalam koalisi kekuasaan.

Namun, krisis ini tidak harus dilihat semata-mata sebagai titik akhir. Dalam kerangka teori krisis Schumpeterian, setiap krisis membuka peluang untuk rekonstruksi kreatif (creative destruction), yakni menghancurkan pola lama demi melahirkan format baru yang lebih relevan (Schumpeter, 1942/2003). Bagi PPP, Muktamar 2025 bisa menjadi momentum untuk memutus rantai stagnasi dan membangun basis politik yang kembali berpijak pada keulamaan, keislaman kultural, sekaligus keterhubungan dengan modernitas intelektual dan aspirasi generasi muda Muslim.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah: figur kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan PPP untuk melakukan lompatan itu? Jika mengacu pada tradisi politik Islam Indonesia, dibutuhkan figur yang mampu merekonsiliasi dua arus besar: tradisi keulamaan yang menjadi akar sejarah PPP dan modernitas intelektual yang relevan dengan tantangan kontemporer. Tanpa kepemimpinan yang visioner, PPP hanya akan menjadi “partai warisan” yang hidup dalam nostalgia sejarah, namun kehilangan relevansi di mata generasi penerus.

Dengan demikian, Muktamar 2025 tidak hanya menjadi forum pemilihan ketua umum, tetapi lebih jauh adalah ruang perumusan ulang identitas, visi, dan strategi PPP. Jika momentum ini dilewatkan begitu saja, maka PPP berisiko menapaki jalan sunyi menuju marginalisasi permanen. Sebaliknya, jika mampu melahirkan kepemimpinan yang kuat, bersih, dan visioner, PPP masih memiliki peluang untuk merebut kembali marwah politik umat dan kembali diperhitungkan dalam konfigurasi politik nasional menjelang Pemilu 2029.

Sejarah Tren Perolehan Suara PPP

  1. Era Orde Baru (1977–1997)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memasuki panggung politik nasional Orde Baru sebagai satu-satunya kanal formal aspirasi politik umat Islam. Sejak awal, posisinya berada dalam paradoks: di satu sisi PPP mengemban legitimasi sebagai rumah politik umat, tetapi di sisi lain ia dijinakkan oleh struktur kekuasaan negara. Pemilu 1977 menjadi debut pertamanya

dengan raihan suara 29,3 persen—sebuah capaian signifikan yang menegaskan eksistensinya sebagai kekuatan oposisi sistemik dalam format demokrasi terkendali Orde Baru (Liddle, 1999). Namun, capaian ini segera dipandang sebagai ancaman oleh rezim, sehingga PPP kemudian menghadapi berbagai bentuk represi politik, administratif, dan ideologis.

Dalam kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci, PPP dapat dipahami sebagai counter-hegemonic force yang berusaha menyalurkan aspirasi politik umat di bawah dominasi negara. Tetapi, rezim Orde Baru secara sistematis menundukkan PPP dengan strategi kooptasi dan delegitimasi. Salah satu instrumen penting adalah kebijakan asas tunggal Pancasila (1985), yang tidak hanya memaksa PPP mengubah lambang Ka’bah menjadi Bintang Segi Lima, tetapi juga menyingkirkan simbol politik Islam dari ruang publik formal (Effendy, 2003). Kebijakan ini menandai reduksi identitas ideologis PPP yang semula tegas berbasis Islam menjadi “partai patuh” dalam kerangka politik negara.

Tren perolehan suara PPP pasca-1977 menunjukkan gejala penurunan yang konsisten. Pada Pemilu 1982, PPP meraih 27,8 persen suara, lalu anjlok menjadi 16,0 persen pada Pemilu 1987—sebuah penurunan drastis akibat represi simbolik dan manipulasi elektoral. Penurunan ini tidak hanya soal angka, melainkan juga mencerminkan erosi basis sosial akibat tekanan politik dan strategi divide et impera rezim terhadap umat Islam (Vatikiotis, 1998). PPP dipaksa menerima posisi subordinat dalam konfigurasi politik nasional, di mana Golkar menjadi instrumen utama hegemonisasi Orde Baru.

Kondisi ini berlanjut pada Pemilu 1992 dan 1997, di mana suara PPP hanya berkisar 17,0–22,0 persen. Fakta ini mengindikasikan bahwa meskipun basis tradisional umat Islam masih setia, daya tawar politik PPP kian tereduksi. Dalam perspektif neo-institusionalisme, hal ini dapat dibaca sebagai konsekuensi dari institutional constraints yang membatasi ruang gerak partai dalam sistem politik yang otoritarian (Slater, 2004). PPP terperangkap dalam path dependency sebagai “oposisi yang dijinakkan,” tidak mampu melakukan inovasi strategi atau membangun alternatif politik yang lebih radikal.

Meski demikian, eksistensi PPP pada masa Orde Baru tetap memiliki makna simbolis yang penting. Ia menjadi wadah ekspresi perlawanan diam-diam (silent resistance) umat Islam terhadap rezim. Kehadiran PPP di parlemen, meski terbatas, tetap menjaga eksistensi politik Islam dalam konfigurasi formal negara. Hal ini sesuai dengan pandangan James Scott (1990) tentang weapons of the weak: meskipun terdominasi, masyarakat selalu menemukan cara untuk mengekspresikan resistensi melalui simbol-simbol politik yang tersisa. Suara PPP, walau menurun, adalah simbol bahwa politik Islam tidak sepenuhnya berhasil dihapuskan dari panggung nasional.

Dari perspektif konstruktif, pengalaman penurunan suara PPP di era Orde Baru dapat dibaca sebagai pelajaran penting bahwa identitas politik yang direpresi tanpa pembaruan akan mengalami delegitimasi ganda: dari negara dan dari basis sosialnya sendiri. PPP gagal memanfaatkan ruang terbatas itu untuk mengartikulasikan agenda-agenda substantif yang

melampaui simbol, sehingga ia hanya bertahan sebagai “penanda” tanpa substansi politik yang kuat. Hal ini menegaskan perlunya strategi baru dalam menghadapi sistem yang represif, yaitu memperluas fungsi representasi dari sekadar simbol ideologis menjadi advokasi substantif bagi umat.

Pada akhirnya, perjalanan PPP di era Orde Baru mengilustrasikan bahwa stabilitas angka elektoral tidak serta-merta mencerminkan kekuatan politik sejati. Meskipun mampu mempertahankan suara di atas 15 persen, PPP tetap tidak memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah kebijakan negara. Dengan kata lain, representasi elektoral PPP bersifat semu, karena ditundukkan oleh struktur kekuasaan yang hegemonik. Situasi ini menjadi dasar bagi tantangan besar pasca-Reformasi: bagaimana mengubah legitimasi simbolik menjadi kekuatan politik substantif.

Era Orde Baru dengan demikian dapat dipandang sebagai fase ambivalensi: PPP menjadi simbol perlawanan sekaligus instrumen kooptasi. Pemilu-pemilu 1977 hingga 1997 tidak hanya mencatat angka penurunan suara, tetapi juga menandai reduksi peran politik Islam dalam kerangka negara. Sejarah ini penting sebagai cermin bagi kondisi PPP pasca-Reformasi: bahwa tanpa kepemimpinan kuat, strategi adaptif, dan narasi ideologis yang relevan, partai politik Islam mudah terjebak dalam marginalisasi meskipun memiliki basis sosial yang luas.

Baca Juga  Rayakan Semarak Imlek 2025, InJourney Aviation Services Bagikan Special Gift di 4 Kota Besar

B.  Pemilu Reformasi 1999–2024: Dari Harapan Besar ke Posisi Marginal

Memasuki era Reformasi, Pemilu 1999 dianggap sebagai pesta demokrasi paling jujur dan terbuka setelah 32 tahun dominasi Orde Baru. Bagi PPP, momen ini menghadirkan paradoks: di satu sisi, jatuhnya rezim Soeharto membuka ruang lebar bagi artikulasi politik Islam; di sisi lain, kompetisi yang lebih plural justru memperlihatkan keterbatasan PPP dalam mengonsolidasikan basis tradisional umat Islam. Perolehan 10,7% suara (58 kursi DPR, peringkat ke-5) pada Pemilu 1999 sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda fragmentasi dukungan politik umat yang terbagi ke dalam berbagai partai Islam dan berbasis massa Islam seperti PKB, PAN, dan PBB (Budiardjo, 2008). Dengan demikian, narasi historis yang sebelumnya menempatkan PPP sebagai “rumah tunggal” politik umat Islam mulai goyah.

Pada Pemilu 2004, meski jumlah kursi tetap sama (58), PPP mengalami penurunan persentase suara menjadi 8,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa PPP gagal mempertahankan momentum sebagai partai besar, meski berada di pemerintahan melalui koalisi. Penurunan ini mencerminkan dua persoalan serius: pertama, terjadinya kompetisi internal antar-elite yang melemahkan soliditas organisasi; kedua, kegagalan PPP dalam menawarkan diferensiasi ideologis yang jelas dibanding partai-partai Islam lain. Dengan kata lain, PPP terjebak dalam politik pragmatis yang mengikis identitas historisnya.

Pemilu 2009 memperdalam tren kemerosotan. PPP hanya meraih 5,3% suara (39 kursi DPR), menandakan bahwa daya tarik politik identitas Islam semakin tergerus oleh isu- isu ekonomi, kesejahteraan, dan tata kelola yang lebih menonjol dalam diskursus publik pasca- Reformasi. Penurunan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan refleksi dari krisis

representasi: PPP tidak lagi mampu menjadi corong aspirasi utama umat Islam, bahkan dalam isu-isu sensitif seperti syariah, pendidikan Islam, dan perlindungan lembaga keagamaan (Mujani & Liddle, 2010).

Pada Pemilu 2014, PPP sempat mengalami rebound kecil dengan perolehan 6,5% (39 kursi DPR). Namun demikian, “kenaikan” ini tidak cukup signifikan untuk mengubah posisi PPP dalam konstelasi politik nasional. Secara filosofis, situasi ini menunjukkan bahwa PPP masih memiliki sisa “loyalitas tradisional” dari sebagian konstituennya, tetapi tanpa inovasi politik dan strategi kaderisasi yang kuat, loyalitas itu cenderung bersifat residual dan tergerus waktu.

Pemilu 2019 menjadi titik kritis berikutnya. PPP hanya meraih 4,5% suara (19 kursi DPR), semakin terpinggirkan dari panggung politik nasional. Fenomena ini terjadi ketika partai-partai berbasis nasionalis-religius seperti PKB dan PAN mampu merebut ceruk basis pemilih Muslim, sementara PPP terperangkap dalam konflik internal yang berulang. Dengan kata lain, PPP kehilangan kapasitasnya sebagai political broker umat Islam dan sekadar menjadi “figuran” dalam koalisi pemerintahan.

Pemilu 2024 menandai posisi terlemah PPP sepanjang sejarahnya, hanya memperoleh 3,9% suara (12 kursi DPR). Angka ini menegaskan tren penurunan konsisten yang berlangsung hampir dua dekade. Secara politis, PPP berada dalam situasi eksistensial: apakah masih relevan disebut sebagai partai besar Islam, ataukah hanya sekadar partai warisan yang hidup karena nostalgia sejarah. Di sinilah urgensi Muktamar 2025 muncul sebagai momentum terakhir untuk merebut kembali marwah politik PPP sekaligus menyelamatkan simbol politik umat dari keterpinggiran total.

Analisis Penyebab Penurunan

Penurunan konsisten suara PPP dari masa Reformasi hingga Pemilu 2024 tidak dapat dilepaskan dari dinamika fragmentasi politik Islam pasca-Soeharto. Jika di era Orde Baru umat Islam terpaksa berkonsolidasi di bawah satu payung PPP, maka Reformasi membuka ruang kompetisi baru dengan lahirnya PKB, PAN, PKS, dan PBB. Fragmentasi ini menggerus basis sosial tradisional PPP, terutama dari kalangan pesantren, organisasi Islam, dan pemilih Muslim urban. Teori fragmentasi elektoral menjelaskan bahwa semakin terbuka kompetisi partai, semakin besar peluang terjadinya pergeseran dukungan akibat diversifikasi isu, identitas, dan kepemimpinan (Sartori, 2005). PPP gagal merespons perubahan ini dengan strategi diferensiasi yang tajam, sehingga secara gradual kehilangan posisi sentralnya.

Selain itu, stagnasi kepemimpinan dan konflik internal telah menjadi faktor struktural yang melemahkan PPP. Dualisme kepengurusan berulang kali muncul, terutama pasca- Reformasi, menggerus kepercayaan publik. Absennya figur karismatik sekelas Idham Chalid membuat PPP terjebak dalam kepemimpinan monoton yang lebih sibuk pada negosiasi kekuasaan daripada rekonstruksi ideologi. Menurut teori kepemimpinan karismatik Weberian, keberlangsungan sebuah organisasi politik sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpin menghadirkan legitimasi emosional dan moral di tengah perubahan sosial (Weber, 1978/2019). PPP gagal menampilkan figur pengikat tersebut, sehingga krisis kepemimpinan bertransformasi menjadi krisis representasi.

Lebih jauh, pragmatisme politik kader juga mempercepat proses delegitimasi partai. Alih-alih melahirkan negarawan dengan visi besar, PPP kerap memproduksi politisi yang berperan sebagai follower dalam koalisi pemerintahan. Tidak sedikit kadernya terjerat kasus korupsi, bahkan ada ketua umum yang harus mendekam di penjara. Fenomena ini bukan sekadar masalah individu, melainkan cermin dari rapuhnya mekanisme kaderisasi yang tidak berbasis nilai. Dalam perspektif etika politik Islam, hal ini menciptakan jurang antara cita-cita ideal partai sebagai “rumah politik umat” dengan praktik politik sehari-hari yang cenderung transaksional. PPP akhirnya kehilangan modal simbolik sebagai partai dengan standar moral tinggi.

Minimnya inovasi ideologi dan program turut memperdalam krisis tersebut. Di era ketika generasi muda Muslim semakin kritis terhadap isu demokrasi, kesetaraan gender, lingkungan, dan teknologi digital, PPP justru gagal menghadirkan narasi Islam progresif. Tidak ada tawaran serius untuk menjembatani antara khazanah Islam klasik dengan kebutuhan modernitas. Padahal, teori modernisasi politik Huntington (1991) menegaskan bahwa keberhasilan partai politik terletak pada kemampuannya mengartikulasikan aspirasi tradisional ke dalam bahasa modern yang relevan. PPP, alih-alih melakukan reaktualisasi, justru membiarkan dirinya terjebak dalam simbolisme lama tanpa aktualisasi kontekstual.

Secara internal, pola organisasi PPP juga memperlihatkan gejala oligarkisasi. Struktur kepemimpinan lebih ditentukan oleh elite pusat daripada basis konstituen. Hal ini

menimbulkan jarak yang lebar antara partai dan umat, sehingga PPP kehilangan basis partisipasi otentik. Menurut teori demokrasi partisipatif (Pateman, 1970), partai politik seharusnya menjadi kanal pendidikan politik rakyat, bukan sekadar mesin elektoral. Krisis partisipasi inilah yang membuat PPP sulit membangun loyalitas baru di kalangan pemilih muda.

Faktor lain yang turut memengaruhi adalah kegagalan PPP dalam merespons perubahan kultur politik nasional yang semakin pragmatis dan berbasis figur. Di tengah dominasi politik personalisasi (personalized politics), PPP tidak mampu menampilkan tokoh nasional yang bisa menjadi magnet elektoral. Hal ini kontras dengan PKB yang memiliki figur Gus Dur dan PKS dengan brand “partai kader dakwah”. PPP kehilangan daya simbolik, padahal identitas simbolik sangat menentukan dalam perebutan suara berbasis ideologi.

Krisis ideologi, kepemimpinan, dan kaderisasi ini menciptakan efek domino terhadap eksistensi PPP dalam konfigurasi nasional. Alih-alih menjadi king maker dalam koalisi pemerintahan, PPP seringkali hanya menjadi pengikut tanpa daya tawar signifikan. Hal ini tentu memengaruhi distribusi kekuasaan politik umat Islam di level eksekutif maupun legislatif, dari kabupaten/kota hingga pusat. Dengan kata lain, melemahnya PPP berimplikasi langsung pada mengecilnya kanal representasi politik umat.

Namun, situasi ini bukan tanpa peluang untuk perbaikan. Jika PPP mampu melakukan reorientasi ideologi, memperkuat kaderisasi, dan menghadirkan figur pemimpin yang mampu merekonsiliasi tradisi ulama dengan modernitas intelektual, maka peluang kebangkitan masih terbuka. Di titik inilah pentingnya menghadirkan figur semacam Prof. KH Husnan Bey Fananie, yang dapat mengisi kekosongan kepemimpinan dengan simbol rekonsiliasi antara khazanah tradisional dan kebutuhan modernitas umat.

Dampak Penurunan PPP dalam Konfigurasi Politik Nasional

Menurunnya perolehan suara PPP dari Pemilu ke Pemilu telah melahirkan implikasi signifikan terhadap posisinya dalam konfigurasi politik nasional. Di tingkat pusat, PPP kehilangan peran strategis yang pernah membuatnya menjadi partai kunci dalam pembentukan koalisi besar. Jika pada era Orde Baru PPP masih diperhitungkan sebagai kanal utama politik umat Islam, pasca-Reformasi PPP lebih sering tampil sebagai pelengkap dalam koalisi pemerintahan. Dalam bahasa Sartori (2005), PPP bergeser dari posisi relevant party menjadi marginal party, sebuah degradasi status yang membuat daya tawar politiknya mengecil secara sistematis.

Baca Juga  Menteri Pertanian 2004-2009, Bersama PUB Pandeglang Gagas Program Ketahanan Pangan

Fenomena ini dapat dibaca melalui teori koalisi minimal winning size (Riker, 1962). Partai politik yang tidak memiliki jumlah kursi signifikan akan ditempatkan hanya sebagai pendukung tambahan, bukan penentu arah kebijakan. PPP, dengan perolehan suara yang kian menyusut, masuk ke dalam kategori tersebut. Akibatnya, posisi menteri atau jabatan strategis yang diperoleh PPP dalam kabinet sering kali tidak mencerminkan kekuatan ideologis,

melainkan sekadar hasil kompromi pragmatis demi stabilitas koalisi. PPP kehilangan peluang untuk mengartikulasikan agenda Islam substantif di tingkat nasional.

Di tingkat daerah, kondisi ini semakin memperlihatkan sisi kritis. Keterwakilan PPP dalam kursi DPRD provinsi maupun kabupaten/kota terus menurun, sehingga ruang bagi kader PPP untuk mengisi jabatan kepala daerah menjadi semakin langka. Jika pada periode awal Reformasi masih terdapat beberapa bupati atau wali kota dari PPP, maka dua dekade terakhir tren itu semakin menyusut. Dengan demikian, basis sosial PPP yang semula kuat di pedesaan dan pesantren tidak lagi menemukan kanal politik formal yang efektif. Hal ini menandakan PPP gagal memanfaatkan desentralisasi politik pasca-1999, padahal desentralisasi semestinya membuka peluang besar bagi partai dengan basis lokal kultural (Mietzner, 2013).

Redupnya PPP sebagai partai Islam juga berdampak pada simbol politik umat secara keseluruhan. Dalam sejarah politik Indonesia, PPP pernah berperan sebagai penjaga moral politik, penyeimbang antara kekuasaan negara dan aspirasi umat. Kini, peran itu semakin kabur, bahkan diambil alih oleh partai-partai lain yang lebih progresif dalam memainkan isu- isu keumatan dan kebangsaan. Hal ini sejalan dengan tesis Almond dan Verba (1963) tentang civic culture, bahwa keberlangsungan partai sangat tergantung pada kemampuannya menjaga relevansi nilai dengan kultur politik masyarakat. PPP gagal menjaga relevansi tersebut.

Keterpurukan di tingkat pusat dan daerah berimplikasi langsung pada menurunnya kapasitas PPP sebagai agen distribusi politik. PPP tidak lagi mampu menyalurkan aspirasi umat ke dalam kebijakan publik secara signifikan. Dalam perspektif teori representasi politik Pitkin (1967), representasi PPP semakin kehilangan substansi karena absen dalam proses pengambilan keputusan penting, baik di legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian, PPP bukan hanya gagal secara elektoral, tetapi juga gagal secara substantif dalam mengartikulasikan kepentingan konstituennya.

Selain itu, redupnya peran PPP dalam konfigurasi nasional menyebabkan terjadinya delegitimasi internal. Para kader potensial lebih memilih hengkang ke partai lain yang memiliki prospek elektoral lebih baik. Fenomena ini menjelaskan mengapa regenerasi kepemimpinan PPP kian stagnan: karena partai gagal menawarkan jalan masa depan bagi kader muda. Menurut teori exit, voice, and loyalty Hirschman (1970), kader partai yang tidak melihat prospek akan memilih keluar (exit) ketimbang berjuang dari dalam. Akibatnya, PPP semakin kehilangan darah segar untuk melakukan pembaruan internal.

Namun, di balik kondisi ini terdapat peluang reflektif. Krisis posisi PPP, baik di pusat maupun daerah, bisa dimaknai sebagai ruang pembelajaran politik. PPP harus menyadari bahwa untuk kembali relevan, partai perlu menata ulang peran dan posisinya bukan sekadar dalam konteks kekuasaan pragmatis, tetapi dalam kerangka kebangsaan yang lebih besar. Sebagaimana ditegaskan Norris (2002), partai politik hanya akan bertahan jika mampu bertransformasi dengan cepat terhadap tuntutan lingkungan politik baru. Bagi PPP, lingkungan baru itu adalah dominasi generasi muda Muslim yang lebih egaliter, kritis, dan progresif.

Dengan kata lain, PPP harus mengubah paradigma dari sekadar pelengkap koalisi menuju penentu arah diskursus kebijakan. Untuk itu, partai ini membutuhkan kepemimpinan visioner yang mampu merekonsiliasi basis tradisional dengan aspirasi modern. Kegagalan masa lalu justru bisa menjadi titik balik jika PPP berani melakukan transformasi menyeluruh, baik di tingkat pusat maupun daerah. Tanpa langkah radikal ini, PPP hanya akan terus menjadi catatan kaki dalam sejarah politik Indonesia.

Agenda Revitalisasi PPP

Revitalisasi PPP bukanlah sekadar pilihan teknis, melainkan sebuah keharusan historis jika partai ini ingin tetap relevan dalam lanskap politik Indonesia yang semakin kompetitif. Agenda kebangkitan PPP perlu dimulai dengan menghidupkan kembali basis tradisionalnya, yakni pesantren, ulama, dan komunitas Islam kultural. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, tetapi juga pusat pembentukan nilai, identitas, dan jejaring sosial umat Islam Indonesia. Sejarah politik menunjukkan bahwa legitimasi ulama memiliki daya ikat yang kuat dalam membangun loyalitas politik (Fealy & White, 2008). Dengan merevitalisasi hubungan organik dengan pesantren dan ulama, PPP dapat kembali mengukuhkan dirinya sebagai partai Islam berbasis kultural, bukan sekadar partai politik elektoral.

Namun, mengandalkan basis tradisional saja tidak cukup. PPP juga harus menatap ke depan dengan serius menjangkau generasi muda Islam. Generasi ini tumbuh dalam ekosistem digital, globalisasi, dan demokratisasi yang semakin intens. Mereka lebih sensitif terhadap isu-isu kesetaraan, lingkungan, transparansi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, PPP harus menawarkan gagasan Islam yang otentik, inklusif, dan progresif. Teori post-Islamism (Bayat, 2013) dapat menjadi pijakan, yakni menjadikan Islam sebagai etika publik yang ramah terhadap demokrasi, pluralitas, dan hak-hak sipil. Dengan cara ini, PPP dapat menghindari jebakan simbolisme sempit dan justru menjadi pionir dalam mengartikulasikan Islam sebagai kekuatan moral dan intelektual yang relevan dengan tantangan kontemporer.

Agenda berikutnya adalah membangun partai yang bersih melalui prinsip zero tolerance terhadap korupsi. Sejarah telah membuktikan bahwa keterlibatan kader PPP dalam kasus korupsi menghancurkan kepercayaan publik secara drastis. Tanpa integritas, tidak ada ideologi yang bisa bertahan. Dalam perspektif etika politik, integritas adalah fondasi legitimasi (Johnston, 2005). PPP perlu merancang mekanisme kaderisasi dan pengawasan internal yang ketat, sehingga kader tidak hanya teruji secara politik, tetapi juga secara moral. Hanya dengan cara itu PPP bisa memulihkan kepercayaan umat sekaligus menawarkan diferensiasi positif dari partai-partai lain yang juga rentan korupsi.

Lebih jauh, PPP perlu melakukan reposisi dalam politik nasional. Selama ini, PPP lebih sering dipersepsikan sebagai partai pengikut (follower) dalam koalisi kekuasaan. Paradigma ini harus diubah. PPP harus tampil sebagai partai jembatan antara umat dan negara, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri fusi partai Islam tahun 1973. Teori brokerage politics (Stokes, 2007) menjelaskan bahwa partai bisa memainkan peran signifikan bila mampu menjadi

mediator efektif antara kebutuhan masyarakat dengan kebijakan negara. Dengan menegaskan reposisi ini, PPP dapat mengembalikan marwahnya sebagai kanal aspirasi umat sekaligus penjaga kepentingan bangsa.

Revitalisasi juga membutuhkan strategi komunikasi politik yang adaptif. PPP harus meninggalkan cara-cara komunikasi elitis dan menggantinya dengan pola interaktif yang sesuai dengan logika era digital. Pemanfaatan media sosial, big data analytics, dan keterlibatan langsung dalam isu-isu publik harus menjadi strategi utama. Dengan cara ini, PPP bisa mendekatkan diri pada generasi muda yang cenderung apatis terhadap politik formal, sekaligus memperlihatkan bahwa partai Islam juga mampu bertransformasi secara modern (Norris & Inglehart, 2019).

Selain strategi elektoral, PPP perlu memikirkan kembali platform ideologisnya. Islam politik tidak cukup hanya diposisikan sebagai identitas, tetapi harus diproyeksikan sebagai solusi atas krisis kebangsaan: ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, krisis moral birokrasi, dan lemahnya perlindungan sosial. PPP dapat mengembangkan narasi Islam rahmatan lil-‘alamin sebagai paradigma pembangunan yang menekankan keseimbangan antara spiritualitas, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan demikian, PPP bisa menampilkan diri bukan hanya sebagai partai umat, tetapi sebagai partai solusi bagi bangsa.

Jika keempat agenda ini dijalankan secara simultan—revitalisasi basis tradisional, orientasi generasi muda, pembangunan partai bersih, dan reposisi nasional—PPP akan memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan marginalitas. Partai ini bukan saja bisa merebut kembali suara tradisionalnya, tetapi juga membangun basis elektoral baru yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan prinsip path dependence dalam teori kelembagaan (Pierson, 2004): masa lalu memang membentuk jalan, tetapi dengan intervensi strategis, jalur baru bisa dibangun untuk mengubah arah masa depan.

Dengan kata lain, revitalisasi PPP adalah proses rekonsiliasi historis dan inovasi kontemporer. Rekonsiliasi dengan tradisi pesantren dan ulama mengikat PPP pada akar sejarahnya, sementara inovasi dengan gagasan Islam progresif dan partai bersih menuntun PPP ke arah relevansi baru. Momentum Muktamar 2025 menjadi pintu emas untuk mengeksekusi agenda ini. Jika dilewatkan, PPP akan semakin terperosok dalam marjinalitas politik yang sulit diperbaiki.

Baca Juga  Layanan Kepegawaian Provinsi Papua Pegunungan Terancam Diblokir

Figur Kepemimpinan yang Dibutuhkan

Krisis yang dihadapi PPP dewasa ini pada hakikatnya bukan hanya soal elektoral, melainkan juga krisis kepemimpinan. Partai yang lahir sebagai hasil fusi empat partai Islam pada 1973 ini kehilangan daya magnet karena gagal melahirkan figur pemersatu yang mampu menjadi jangkar tradisi dan sekaligus mercusuar modernitas. Sejarah politik menunjukkan bahwa partai ideologis akan kehilangan daya tawarnya ketika figur kepemimpinan tidak lagi menghadirkan identitas moral dan intelektual yang jelas (Panebianco, 1988). Dalam konteks PPP, kepemimpinan monoton dan konflik internal telah mempercepat proses marginalisasi politik umat Islam.

Kepemimpinan politik pada partai berbasis ideologi keagamaan menuntut legitimasi ganda: legitimasi moral dari kalangan ulama serta legitimasi rasional dari kelompok intelektual muda dan kelas menengah perkotaan (Weber, 1978). Tanpa kombinasi ini, partai hanya akan hidup di ruang tradisi tanpa menjangkau aspirasi modern, atau sebaliknya, larut dalam pragmatisme modernitas tanpa akar moralitas. Karena itu, figur yang dibutuhkan PPP bukan sekadar organisatoris, melainkan simbol rekonsiliasi tradisi dan modernitas yang mampu mengembalikan marwah politik umat.

Dalam horizon ini, Prof. KH Husnan Bey Fananie muncul sebagai figur potensial. Latar belakangnya yang kuat dalam keulamaan sekaligus reputasi akademik internasional menjadikannya unik di antara deretan politisi PPP yang cenderung pragmatis. Sebagai akademisi yang lama berkiprah di dunia intelektual global, ia membawa dimensi kosmopolitan yang jarang dimiliki oleh pemimpin partai Islam pasca-reformasi. Kehadirannya dapat diposisikan sebagai ikon kebangkitan PPP sebagaimana Idham Chalid di masa lalu yang mampu menjadi simbol ulama-intelektual sekaligus politisi nasionalis-religius.

Lebih jauh, figur semacam Prof. Husnan Bey Fananie dapat membangun kembali jembatan antara PPP dengan basis tradisionalnya, yakni pesantren, majelis taklim, dan organisasi sosial keagamaan. Hubungan organik dengan basis ini tidak cukup hanya dengan retorika, melainkan perlu figur yang memang memiliki kredibilitas kultural. Dalam perspektif teori representasi politik, hubungan antara pemimpin dan basis kultural bukan sekadar “delegasi” melainkan “trusteeship”—yaitu pemimpin dipercaya mewakili kepentingan karena integritas dan moralitasnya (Pitkin, 1967).

Di sisi lain, tantangan utama PPP adalah menarik generasi muda Islam yang semakin kritis terhadap simbolisme politik. Generasi ini tidak lagi puas dengan slogan formalistik “partai Islam”, tetapi menuntut politik yang bersih, progresif, dan responsif terhadap isu-isu kontemporer seperti lingkungan, digitalisasi, keadilan sosial, dan integritas kepemimpinan (Mietzner, 2015). Figur seperti Prof. Husnan, dengan pengalaman akademik dan jaringan global, berpotensi menawarkan narasi Islam yang otentik sekaligus progresif, sehingga dapat menjembatani kebutuhan generasi muda dengan akar tradisi Islam.

Kepemimpinan yang dibutuhkan PPP juga harus membawa integritas sebagai modal utama. Partai ini telah lama tercoreng oleh kasus korupsi, bahkan pernah melibatkan ketua umumnya. Maka, figur baru harus mampu menghadirkan fresh start, yakni kepemimpinan yang tidak hanya bersih dari praktik korupsi, tetapi juga menegakkan budaya organisasi berbasis zero tolerance terhadap penyimpangan etika politik. Dalam teori institusionalisme baru, perubahan institusi politik tidak semata-mata karena aturan formal, tetapi karena hadirnya agen dengan kapasitas normatif yang kuat (North, 1990). Dengan demikian, kepemimpinan

berintegritas adalah syarat transformasi PPP dari partai follower menjadi partai dengan nilai moralitas yang disegani.

Selain integritas, kemampuan manajerial dan kapasitas membangun koalisi politik juga menjadi tuntutan. PPP membutuhkan figur yang tidak sekadar mengelola konflik internal, tetapi mempersatukan faksi-faksi yang ada dengan visi jangka panjang. Dalam perspektif kepemimpinan transformasional, pemimpin harus mampu menginspirasi kolektif dengan visi bersama yang melampaui kepentingan pribadi maupun faksional (Burns, 1978). Prof. Husnan Bey Fananie dapat memainkan peran tersebut karena posisinya yang relatif berada di luar lingkaran konflik internal pragmatis PPP.

Jika PPP berani menempatkan figur seperti Prof. KH Husnan Bey Fananie sebagai ketua umum, maka partai ini berpeluang membangun kembali citra sebagai rumah besar politik umat. Ia dapat menjadi simbol rekonsiliasi antara otoritas tradisional ulama dan aspirasi modern kaum muda intelektual. Lebih dari itu, ia dapat mereposisi PPP bukan sekadar sebagai pelengkap koalisi kekuasaan, melainkan sebagai partai yang menegosiasikan nilai-nilai Islam dalam konfigurasi politik nasional secara bermartabat.

Penutup: Muktamar 2025 sebagai Momentum Kebangkitan

Muktamar PPP 2025 bukanlah sekadar forum prosedural untuk memilih ketua umum baru, melainkan peristiwa sejarah yang akan menentukan arah masa depan partai dan sekaligus wajah politik Islam di Indonesia. Di titik inilah, PPP dihadapkan pada pertaruhan eksistensial: apakah ia akan tetap larut dalam bayang-bayang marginalisasi politik atau justru bangkit merebut kembali marwah politik umat. Dalam perspektif teori critical juncture, momen seperti muktamar memiliki potensi sebagai “jalur kritis” yang mampu mengubah arah perjalanan institusi politik secara signifikan (Mahoney, 2000).

Krisis legitimasi yang dialami PPP dalam dua dekade terakhir sejatinya mencerminkan krisis representasi politik umat Islam di ranah formal. Fragmentasi basis politik Islam, disertai pragmatisme elite partai, telah membuat PPP kehilangan karakter ideologisnya. Jika muktamar hanya menghasilkan kompromi politik jangka pendek, maka PPP akan semakin terjerumus dalam spiral kemunduran. Sebaliknya, jika muktamar melahirkan figur dan visi yang kuat, ia dapat membuka jalan menuju kebangkitan baru.

Pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para kader PPP adalah apakah mereka berani melakukan reorientasi mendasar. Politik, sebagaimana ditegaskan Hannah Arendt (1958), bukan sekadar arena perebutan kekuasaan, melainkan ruang untuk menghadirkan makna bersama (public realm). PPP perlu kembali menjadikan dirinya sebagai rumah politik umat yang menghadirkan makna, bukan sekadar mesin elektoral. Hanya dengan cara itu, partai ini dapat kembali memperoleh relevansi di mata umat dan bangsa.

Kebangkitan PPP juga memerlukan keberanian untuk membangun narasi Islam yang progresif, otentik, dan inklusif. Generasi muda Islam tidak lagi puas dengan simbol-simbol

politik yang kering, melainkan menuntut integritas, program nyata, dan keberpihakan pada isu- isu kontemporer seperti keadilan sosial, lingkungan, dan pemberdayaan digital. Dalam hal ini, muktamar harus menjadi wadah artikulasi gagasan segar, bukan sekadar forum distribusi jabatan. Jika PPP gagal menangkap momentum ini, maka ruang politik umat akan sepenuhnya dikuasai partai lain yang lebih adaptif.

Lebih jauh, PPP harus mampu melakukan transformasi kelembagaan. Dalam perspektif neo-institusionalisme, perubahan partai tidak akan terjadi tanpa reformasi aturan main internal, kultur politik, dan mekanisme rekrutmen kader (March & Olsen, 1989). PPP perlu menegakkan sistem meritokrasi, membangun kaderisasi berbasis integritas, serta menghapus budaya transaksional yang selama ini merusak citra partai. Dengan demikian, kebangkitan PPP tidak hanya tergantung pada figur, tetapi juga pada institusionalisasi nilai.

Namun demikian, figur tetap memainkan peran sentral. Muktamar 2025 perlu melahirkan pemimpin yang bukan sekadar pengelola konflik internal, tetapi simbol persatuan dan arah baru. Figur seperti Prof. KH Husnan Bey Fananie, dengan latar belakang keulamaan, kapasitas intelektual global, dan reputasi integritas, dapat menjadi ikon rekonsiliasi tradisi dan modernitas. Dalam kerangka teori kepemimpinan transformasional, pemimpin semacam ini mampu menginspirasi kader, menggerakkan basis, serta membangun kepercayaan publik kembali (Burns, 1978).

Momen 2025 juga harus dilihat dalam perspektif jangka panjang menuju Pemilu 2029. Tanpa reposisi strategis, sulit membayangkan PPP mampu bertahan sebagai kekuatan politik yang signifikan. Sebaliknya, jika revitalisasi berhasil dilakukan, PPP dapat kembali ke peran historisnya sebagai penentu arah koalisi nasional, sekaligus pengawal moralitas politik bangsa. Dalam hal ini, PPP harus meneguhkan dirinya bukan sekadar sebagai “partai Islam”, melainkan “partai umat” yang melampaui sekat faksionalisme dan pragmatisme.

Oleh karena itu, muktamar kali ini harus dipahami sebagai momentum kebangkitan, bukan sekadar rutinitas politik. Pilihan ada pada kader PPP sendiri: melanjutkan keterpurukan dengan kepemimpinan transaksional, atau bangkit dengan kepemimpinan bermoral dan berwawasan luas. Sejarah akan mencatat, apakah PPP memilih jalan stagnasi atau jalan kebangkitan.

Jika keberanian itu diambil, PPP bukan hanya sekadar mengembalikan marwah politik umat, tetapi juga menyalakan kembali harapan bahwa politik Islam di Indonesia masih memiliki masa depan yang bermartabat, inklusif, dan progresif. Dengan begitu, muktamar 2025 dapat menjadi milestone sejarah: titik balik yang menandai lahirnya era baru politik PPP.***

*)Dr. Hendra Dinatha, S.H., M.H., Ketua Bidang Polhukam PP PARMUSI, Waketum PP GMPI dan juga Wakil Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.

 

News Feed